Oleh. Tukijo
Euforia Merdeka belajar sudah terlanjur menggema di seluruuh Indonesia. Entah sudah berapa seri Merdeka belajar dibuat oleh Kementerian Pendidikan, kebudayaan, dan riset teknologi(Kemendikbudristek). Salah satu kebijakan teknisnya yaitu program peningkatkan kompetensi guru melalui guru penggerak(GP). Berdasarkan permendikbud nomor 26 Tahun 2022 pasal 1 bahwa guru penggerak adalah guru yang memiliki sertifikat guru penggerak. Tujuan awal program guru penggerak sungguh luar biasa. Meski masih minim hasil riset di awal-awal penerapan program GP ini, tapi pemerintah begitu yakin dan optimis program ini akan berhasil dan berdampak.Tujuannya adalah mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada siswa dengan menciptakan kepemimpinan pembelajaran di kelas. Terkesan tergopoh-gopoh, implementasi program GP ini diakselerasi sehingga kegiatan ini diharapkan dapat mendongkrak kualitas pembelajaran bagi siswa. Ampuhkah guru penggerak meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas?
Program guru penggerak
seakan menjadi program unggulan yang dapat mengatasi rendahnya kualitas
kepemimpinan pembelajaran. Alih-alih meningkatkan kualitas pembelajaran,
lulusan guru penggerak malah seakan keblinger dengan terus beranjak dari peran
berikutnya. Secara konseptual guru penggerak diharapkan dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran dan menggerakkan guru lain atau komunitas di sekolah. Kenyatannya,
tak sedikit guru penggerak yang beralih dengan mengikuti seleksi menjadi
pengajar praktik, kemudian fasilitator dan sebagainya.
Bukan hanya itu, tak
sedikit pula yang menjadikan lulusan guru penggerak sebagai batu loncatan
menjadi kepala sekolah atau pengawas. Di awal-awal program ini meluluskan guru
penggerak, para lulusannya banyak yang langsung ditetapkan sebagai kepala
sekolah atau pengawas. Apakah in tujuan akhir dari program guru penggerak?
Para calon guru penggerak
sebelumnya melakukan pendaftaran, Ketika dinyatakan lolos mereka langsung
mengikuti pelatihan selama 9 bulan dan pendampingan (coaching), maupun
monitoring, dan lokakarya. Di awal program Angkatan 1, 2, 3, dan 4 lokakarya
masih dilakukan di hotel-hotel. Namun di angakatan berikutnya lokakarya
dilaksanakan di sekkolah-sekolah. Hal ini entah karena menyusutnya anggaran
atau memang ada alasan lain.
Saat ini Angkatan GP sudah memasuki Angkatan ke-10. Tak sedikit calon GP yang berharap dapat lulus sehingga menyandang guru penggerak. Sebenarnya tak semua GP berorientasi menjadi kepala sekolah, ada juga yang ingin belajar dan meningkatkan kompetensi. Sebut saja para guru dari sekolah swasta yang tak kalah bagus kualitasnya. Setelah mereka lulus, apakah ada jaminan jenjang karir menjadi kepala sekolah?Karena mereka di sekolah swasta, maka kebijakan tersebut ada pada pimpinan yayasan. Berbeda dengan guru PNS yang memang digiring menjabat kepala sekolah, pengawas, atau jabatan lainnya.
Hindari Ekslusivitas
Tren guru penggerak tak
dipungkiri membangun branding.Khususnya personal branding para lulusan guru
penggerak. Mereka memiliki sertifikat guru penggerak dengan proses Panjang yang
mereka lalui. Apalagi dengan iming-iming dapat diangkat sebagai kepala sekolah
atau pengawas. Ini menjadi data tarik tersendiri bagi lulusan GP. Mereka makin
percaya diri setelah dinyatakan lulus. Apalagi Ketika surat Keputusan sebagai
kepala sekolah atau pengawas turun. Fakta ini menjadi paradigma baru bagi dunia
Pendidikan. Saking bagusnya peluang lulusan GP, para guru berbondong-bondong
mendaftar sebagai calon GP. Ada yang lulus dan ada yang tidak lulus.
Pendampingan dan coaching
dilakukan oleh pengajar praktik termasuk pendampingan individu. Sampai aksi
nyata dan panen karya guru penggerak. Ini menjadi fenomena baru di dunia
Pendidikan kita. Perlu diingat tujuan mulia GP untuk meningkatkan pembelajaran
dan membangun ekosistem pembelajaran yang berpihak pada siswa. Apakah hal
tersebut menjamin perubahan paradigma pembelajaran ?
Program guru penggerak
patut diakui pula sebagai terobosan. Hanya saja sebutan guru penggerak saja
masih bias. Kompetensi diukur melalui kuantitas waktu selama 9 bulan dengan
memaksimalkan LMS dan sesekali luring. Apakah hal tersebut juga sebagai jaminan
bahwa Pendidikan guru penggerak akan berhasil?Guru-guru yang diproses selama 9
bulan tersebut didampingi oleh para pengajar praktik(PP), dan fasilitator tentu
menjadi bagian dari proses yang ada. Hanya saja, apakah kualitas bisa diukur
secara cermat untuk pembentukan kualitas lulusan GP?
Disadari maupun tidak, di
dunia Pendidikan saat ini muncul kecemburuan di antara para guru. Ada yang
merasa ekslusiv dan naik kasta saat lulus menjadi GP. Mereka merasa lebih dan
berkualitas dalam pembelajaran. Kasta yang terbentuk menjadikan mereka merasa
lebih berkelas dari pada guru yang bukan GP. Hanya saja kalau kita tengok,
proses pendidikan guru penggerak, selain menyita waktu guru juga menyita waktu
pembelajaran. Para calon guru penggerak harus melakukan praktik aksi nyata.
Kelas seakan hanya menjadi role model saja. Bahkan tak jarang guru rela
meninggalkan jam pembelajaran, untuk mengikuti proses pendampingan individu
atau ruang kolaborasi Bersama pengajar praktik ataub fasilitator.
Nah, kondisi tersebut
tentu harus menjadi catatan penting pemangku kebijakan. Perlu ada Langkah
konkret, pertama perbaiki system rekrutmen calon GP. Kalau tujuannya untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran maka hindari iming-iming jabatan saja, tapi
fokuskan guru lulusan GP untuk berbagi, menggerakan, dan melakukan inovasi di
kelasnya. Pasalnya setelah GP menjadi kepala sekolah, maka predikat guru
penggerak logikanya berubah. Kedua perlu monitoring dan evaluasi terpadu bagi
guru lulusan GP. Mereka yang lulus jangan langsung diangkat jadi kepala sekolah
atau pengawas. Berikan mereka waktu 1 sampai2 tahun untuk aksi nyata
sesungguhnya. Hasil evaluasi ini bisa menjadi pertimbangan jabatan bagi pejabat
yang berwenang. Ketiga perlu penelitian yang terpercaya pihak independen.
Apakah luaran GP benar-benar sudah mampu meningkatkan dan memperbaiki
pembelajaran berpusat pada kebutuhan siswa sesuai amanat kurikulum
Merdeka?Tentu ini akan menjadi tolok ukur yang kredibel dan menjadi pedoman
dalam mengelola program besar guru penggerak. Akhirnya, guru penggerak benar-benar akan
menjadi panglima perubahan paradigma Pendidikan seiring semangat kurikulum
Merdeka, jika ketiga langkah tersebut dilakukan.